SpongeBob -->

TEMANKU SI PENJUAL KUE

| | 0 komentar
Teng...teng. ..teng...
Suara bel sekolah berbunyi nyaring sekali mirip bel
tinju ganti ronde. Aku siap-siap pulang.
Ah...senengnya udah pulang kayak gini. Semua
siswa-siswa SD Menanggal berhamburan keluar kelas
dengan kompaknya, mirip kuda-kuda balap yang melaju
kenceng pas pintu kandang dibuka, hehehehe. Sebelum
pulang aku ke kantin dulu.
"Bu Minah, kemaren aku liat ada anak perempuan
seusiaku jualan kue disini. Apa Bu Minah tahu siapa
anak itu ?"tanyaku sesampainya di kantin.
"Eh non Alma. Anak perempuan kemaren itu ya. Itu anak
saya paling kecil. Hari ini lagi jualan di rumah. Eh
non Alma belom kenal ya, maklum baru 3 hari dia
disini, sebelumnya kan ikut neneknya di desa."jawab Bu
Minah panjang banget.
"Anak Ibu ? Kok Ibu nggak pernah cerita kalo punya
anak cewek ?"tanya Alma heran.
"Ya sejak kecil sudah ikut neneknya. Kalo non Alma mau
kenalan ke rumah Ibu aja sekarang. Pasti ada tuh."
"Baiklah Bu Minah. Saya ke rumah ibu ya ?"Alma
beranjak dari kursi dan siap-siap jalan ke rumah Bu
Minah.
Rumah Bu Minah deket ama sekolah. Masuk gang dan
sampailah sudah...
"Hai, ada kue apa aja nih ?"sapa Alma pada anak
perempuan itu.
"Aduh kaget aku. Macem-macem lah, ada lemper, ada
bikang, ada pukis, ada gorengan. Mau yang mana ?"jawab
anak perempuan itu.
"Ngomong-ngomong kamu yang kemaren jualan di kantin Bu
Minah ya ?"tanya Alma tanpa menjawab mau beli kue apa,
gitu lho.
"Bu Minah itu ibuku. Sejak ayah dan ibuku nggak bisa
lagi kirim uang buat sekolahku, aku kembali kesini dan
membantu jualan kue. Aku nggak ngelanjutin sekolah
lagi, biar mas aku aja karena dia kan kakak
laki-laki.Eh kok aku jadi nangis sih."kata anak
perempuan itu sedih dan tak terasa meneteskan air
mata.
"Kasihan sekali kamu. Namamu siapa dan seharusnya kamu
kelas berapa ?"Alma tiba-tiba merasa iba.
"Aku Nina, seharusnya kelas 3 tapi nggak bisa sekolah
lagi. Dan seharusnya aku masih pengen sekolah
lagi."Nina tiba-tiba terisak.
"Nina kamu jangan sedih aku mau kok jadi temenmu. Aku
Alma, kelas 3 juga.Ehm...aku beli lempernya ya."Alma
mencomot lemper dan memeluk Nina yang masih terisak.
"Nina aku ikut sedih jika kamu nggak sekolah lagi.
Tapi aku ingin membantu kamu sebisaku ya. Ehm...gini
aja gimana kalo mulai besok kamu maen ke rumahku ya.
Kita belajar bareng gitu. Aku jadi guru kamu jadi
murid. Jadi walau kamu nggak sekolah tapi bisa tetep
belajar kan."usul Alma sambil makan lemper dan menatap
Nina dengan mantap.
"Tapi Alma apa aku nggak ngerepotin kamu nih."
"Ya nggak lah. Aku justru seneng punya teman di rumah.
Aku selalu sendirian seabis sekolah. Kamu mau kan jadi
temenku."Alma tersenyum manis sekali. Ya itulah aku,
yang hanya bisa membantu anak yang hidupnya nggak
seberuntung aku dengan kemampuanku sendiri. Kemampuan
anak kecil yang masih SD. Tapi aku percaya ortuku
mengijinkan keputusanku ini. Yang penting Nina senang
dan Bu Minah, pengelola kantin sekolah yang ibunya
Nina juga akan merasa bangga sekali. Aku dan Nina
berpelukan," Terima kasih Alma. Kamu baek sekali ama
aku."


Sumber : Melani IX.2

Friendship Never Die

| | 0 komentar
Pada suatu hari di pagi yang dingin, seorang gadis yang bernama Tia telah tiba di sekolahnya.Tia melangkahkan kaki memasuki kelas, matanya menyapu ruangan sunyi yang apik itu. Tidak
tampak satu makhluk pun di ruangan itu. Wajar saja ,,karna jam masih menunjukkan angka 7
dengan jarum pendek dan angka 10 dengan jarum panjangnya. Masih 25 menit lagi sebelum bel masuk kelas.Tia meletakkan tas samping Tree Rey-nya di atas meja. Dan dengan
iseng Tia mengulurkan tangan untuk memeriksa laci mejanya itu. Tiba-tiba tangan Tia menyentuh sebuah benda tipis yang memiliki panjang kira-kira 15 cm dan lebar 7 cm.Surat? pikir Tia heran ketika memandangi wujud asli benda itu. Keheranan Tia semakin bertambah saat tahu kalau surat
itu ditujukan kepadanya. Dengan penasaran Tia pun merobek amplopnya. Tak kuasa lagi ku menahan gejolak didalam dada ini.Wahai bidadariku.. ku alunkan sebuah lagu cinta hanya padamu..Parasmu yang cantik, matamu yang indah memancarkan kesejukkan..Dan rambutmu yang terurai di terpa
angin..semua yang ada pada dirimu membuat ku terpesona ..dan larut dalam
keindahanmu..Maafkan aku karna aku hanya manusia biasa yang tak bias luput dari rasa ini! Gadisku.. jadikanlah aku sebagai pejaga hatimu..dan terimalah aku tuk jadi pacarmu..

Rido
Tia pun terbuai oleh kata-kata indah itu. Dia tak menyangka kalau Rido memiliki perasaan cinta kepadanya. Tia tidak menyangkal kalau dia juga memperhatikan Rido dari dulu dan tertarik
padanya. Tetapi.. bagaimana dengan Mita, sahabat Tia yang masih suka pada Rido. Tia pun bimbang
*

Menurut elo gimana, Ma?, tanya Tia meminta saran pada sohibnya, Rahma setelah menceritakan kejadian yang dialaminya. Hm..gimana ya?. Gini Tia, gue tau kalo elo udah tertarik sama Rido
dari dulu, tapi.. khan elo tau sendiri kalo Mita itu masih sayang banget
sama Rido. Walaupun sekarang mereka memang udah putus. Tia terdiam. Tia masih terhanyut oleh kata-kata indah dalam suratnya Rido, ditambah lagi rasa senang Tia karena perasaan cintany kepada Rido dibalas. Rido kan beda sekolah sama kita, jadi gue pikir seandainya elo teriama pun.. belum tentu semua berjalanlancar, sambung Rahma. Tetapi entah kenapa Tia bagai terhipnotis oleh kata-kata indah yang dirangkai Rido dalam suratnya. Tia merasa nggak ada salahnya kan kalau dia nerima Rido. Toh Rido kan udah putus sama Mita. Lagipula..gue denger si Rido itu playboy, selalu mengumbar
kata-kata manis. Luarnya aja yang pemalu, baik, atau segala macam kedok lainnya. Nyatanya.. tetap aja playboy. Rahma berkeras meyakinkan Tia untuk nggak nerima Rido begitu melihat gelagat sahabatnya yang sedang di mabuk asmara.Tapi..gue pengen tahu rasanya pacaran, Maaf, Terserah elo deh, Tia. Yang penting gue udah kasih saran yang terbaik buat elo jangan sampai elo menyesal nantinya.
Ingat Tia.. cinta itu memang indah dan berarti. Tapi sahabat jauh lebih penting.


Sebulan telah berlalu, Tia menjadi pacar Rido. Dan Tia semakin yakin kalau kata-kata Rahma nggak benar, karena toh sampai sekarang hubungan Rido dan Tia baik-baik aja. Tia nggak peduli walaupun kedua sahabatnya, Rahma dan Mita cuek dan nggak perhatian lagi sama Tia.
Tapi
ngomong-ngomong soal perhatian kok Tia merasa Rido akhir-akhir ini nggak perhatian dan sebaik waktu mereka baru jadian. Kalau Tia curhat, Rido nggak seperti dulu yang mau mendengarkan dengan simpatik dan member saran-saran. Rido lebih cenderung cuek. Kalau diajak
jalan Rido selalu menghindar dan memberi 1001 macam alasan. Ada leslah, banyak PR-lah, ada
ekstrakurikuler dan macam-macam lagi. Tia jadi curiga dan bertekad menyelidikinya.



Do..temenin aku ke toko buku ya..Ntar akutraktir, deh!, Sorry, Tia . Aku nggak bisa, ada rapat osis.
Lain kali aja, ya..Rido pun berlalu dari hadapan Tia. Tia sangat kesal. Tia berjalan menuju
deretan mobil taksi yang selalu setia menunggu. Pak, ikuti mobil yang di depan !,perintah Tia pada supir taksi yang menjawab dengan sopan, Baik, nona Tia yakin kalau rapat Osis itu hanya alasan Rido yang nggak mau menemani Tia. Tia terus membuntuti soluna merah milik Rido hingga berhenti, di sebuah toko kaset. Rido turun dari mobil dan memasuki toko. Sepuluh menit kemudian pintu toko kembali terbuka dan Rido keluar dari toko. Betapa terkejutnya Tia ketika melihat Rido keluar dan merangkul seorang
cewek manis yang dikenalkan Rido sebagai Lina, teman sekelasnya. Tia melihat Rido memberikan sebuah boneka kepada Lina dan Lina pun memeluk Rido sebagai ucapan terimakasih. Dengan perasaan kesal, sedih, marah Tia menghampiri Rido Sesaat ekspresi kaget terpancar di wajah Rido. Plak.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Rido. Dasar cowok brengsek! Kita putus! Tia pun berlari ke arah taksi dan meninggalkan TKP. Sayup-sayup Tia mendengar Rido berteriak, Emangnya gue butuh elo..!!. Dasar jahat, pikir Tia. Air mata Tia mengalir sepanjang perjalanan pulang. Kata-kata Rahma pun
kembali terngiang-ngiang di telinga Tia. Ingin rasanya ia menumpahkan dan berbagi semua kesedihan pada sahabat-sahabatnya. Tetapi itu nggak mungkin lagi. Tia sudah memilih, dan dia lebih memilih Rido dan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Tia mencampakkan persahabatan demi cinta..demi seorang
Rido yang telah mengkhianatinya. Kini Tia sadar cintanya pada Rido adalah sebuah kesalahan besar.

Tia tiba di rumah dan langsung menuju kamarnya.Rahma..Mata Tia menatap kedua sahabatnya heran. Tia semakin tak kuasa menahan air matanya. Sekali lagi pipinya basah oleh air mata. Rahma
datang memeluk Tia. Rido, Ma.. dia.. dia.. Tia nggak sanggup meneruskan kalimatnya. Kami tahu, Tia..Pasti Rido nyakitin kamu..Dia memang menyebalkan!! Bagi Rido cinta hanyalah permainan kata-kata yang nggak ada artinya. Orang yang menghargai cinta nggak pantas ditangisi, Tia, Mita berkata
bijak. Tia menoleh, Jadi kamu nggak marah sama aku? Mita tersenyum, Buat apa? Buat cowok yang nggak penting itu?. Rugi banget. Persahabatan kita jauh lebih berharga dibandingkan 1000 Rido
Betul!! timpal Rahma Tia menghapus sisa butir air mata dipipinya dan memeluk kedua sahabatnya. Tia merasa terhibur. Trimâ ya, Ma.. Mita.. You are my trully best friends


Best friend never die.
Boy friend die another day.



Sumber : Melani IX.2

Gila Jabatan Vs Gila Kuasa

| | 0 komentar
Jurnalis Senior, Pengamat Sosial

“Saya bukan orang yang gila jabatan!” tegas Dr. Dr. Nila Anfasya Moeloek, mantan calon Menteri Kesehatan untuk Kabinet kedua Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2009-2014. Dokter ahli gigi ini menjawab pertanyaan wartawan, usai serah terima jabatan dari Siti Fadhilah Supari kepada Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru, Dr. Endang Sedyaningsih (21/10/09).

Aneh tapi nyata. Dr. Nila dipanggil ke Puri Cikeas, dan ia sudah mengikuti sejumlah persyaratan, seperti psikotes dan tes kesehatan, tapi justru tak ikut dilantik selaku Menkes bersama 34 menteri lainnya. Sosok Dr. Nila sudah dikenal di kalangan ilmuwan kedokteran dan departemen kesehatan. Lebih-lebih suaminya, Faried Anfasa Moeloek, adalah mantan Menkes pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Tentu berbeda dengan Endang Sedyaningsih yang kurang begitu dikenal. Selain hanya sebagai “orang” laboratorium, utamanya juga setelah “dimejapanjangkan” oleh Menkes Fadhilah Supari kala itu karena menilai Endang telah membawa virus asal Indonesia keluar negeri tanpa sepengetahuan pejabat Depkes.

Menurut mantan Menkes, Siti Fadhilah, Endang ternyata sangat dekat dengan Namru (laboratorium milik Angkatan Laut Amerika Serikat dan badan intelijennya/CIA). Tak pelak rumor pun berkembang, terpilihnya menteri dadakan ini karena Presiden SBY dianggap masih dalam “tekanan” negara paman Obama itu.

Right Man in Wrong Place

Berbagai pengamat sosial, bertolak dari hasil penelitian menyebutkan, kebanyakan orang yang gila jabatan tak jarang disertai kecenderungan gila kekuasaan. Dengan kata lain, gila jabatan setali tiga uang dengan gila kekuasaan. Dan mereka sesungguhnya cenderung tidak memiliki kapasitas (kemampuan) yang sesuai dengan jabatannya (peran).

Dan manusia yang “gila kuasa” sudah tentu akan menjadi sangat otoriter atau kehilangan rasa malu untuk mundur dari jabatannya, kendati mayoritas rakyat menilai kinerjanya tidak becus. Mati rasa!

Apa target yang ingin dicapai orang yang gila kuasa? Apakah kekayaan yang dimiliki belum cukup membahagiakan diri dan keluarganya? Jelas, baginya kekayaan belum cukup membuat diri lebih eksis, lebih bermarbat. Dapat disimpulkan kekayaan tak cukup menaikkan status sosialnya.

Bayangkan, seorang pejabat setingkat gubernur saja, ke mana-mana dikawal, tak kenal macet. Begitu turun dari mobil, pintu pun dibukakan bawahan. Karena berbagai fasilitas dan kemudahan yang diterima, maka gaya hidup pun berubah. Kebutuhan hidup meningkat. Tak puas bila hanya berbelanja di mal-mal lokal, tapi harus ke Eropa, minimal Singapura. Masyarakat awam menyebutnya sebagai gaya hidup Orang Kaya Baru (OKB).

Kecenderungan orang yang gila kuasa ini, tentu “miskin” kearifan dan miskin kemaslahatan sosial. Senyatanya tuntutan efektivitas kerja yang berhasil guna, tentu sangat jarang kita jumpai pada pejabat-pejabat kita.

Misalnya, kinerja kepolisian yang sangat terpuji dalam melawan terorisme, tapi sungguh menyedihkan dalam proses penegakan hukum. Amerika Serikat yang hingga kini gagal menangkap gembong teroris dunia Osama bin Laden, pun telah turut memuji kehebatan Polri dalam memberantas terorisme.

Tapi sepandai-pandai “tupai” melompat akhirnya jatuh juga. Sehebat-hebatnya institusi polisi, akhirnya berhasil diobok-obok oleh seorang makelar kasus, Anggodo Widjojo. Dan kasus ini menjadi fenomenal saat rekaman sadapan telepon Anggota dengan para pejabat penegak hukum dikumandangkan Mahkamah Konstitusi (2/11/09).

Sosiolog UI, Imam B Prasodjo mengaku, mendengar rekaman percakapan tersebut membuatnya “mual-mual dan ingin muntah”. Betapa uang menjadi “raja” yang dapat menyetir para pejabat penegak hukum di negeri para bedebah ini. Na’ûzubillâh!

Sebutlah seorang markus (makelar kasus) dalam konflik KPK versus Polri: dengan modal uang yang banyak, ia dapat dengan mudah “menyetir” aparat penegak hukum, baik di Polri maupun Kejaksaan Agung. Apa akibatnya terhadap rakyat? Tentu sangat merugikan citra pemerintahan SBY, karena mayoritas rakyat tak percaya lagi terhadap kedua institusi tersebut.

Akibat lainnya, ketidakpastian hukum ini sangat buruk pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi dan investasi di Indonesia. Karena investor asing tak akan mau menanamkan modalnya di negeri ini jika tak ada kepastian hukum.

Akhirnya, bila pernyataan Dr. Nila Moeloek kita anggap atau dipahami sebagai prediksi, maka Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua tinggal menghitung hari bagi terjadinya pergantian kabinet.

Andai bangsa kita memiliki budaya instropektif, tentu tak sedikit yang akan menolak dirinya diminta menjadi menteri. Apakah kursi menteri di kabinet baru kini dipenuhi orang-orang yang gila jabatan?

Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?

| | 0 komentar
Mengapa orang dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sebagainya datang berduyun-duyun ke pantai Kuta dan pantai Sanur di Bali? Bukankah di negara mereka sendiri terdapat banyak pantai yang mungkin saja pemandangan alamnya lebih indah daripada pemandangan pantai Kuta dan Sanur di Bali tersebut? Bila kita kaji lebih dalam, ternyata yang menjadi tujuan mereka, para turis asing tersebut adalah ingin melihat Kebudayaan Bali yang terkenal eksotik dan unik, yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat mereka. Bila Bali tidak menawarkan kebudayaan masyarakatnya tersebut, mungkin tidak akan ada daya tarik para wisatawan untuk mengunjunginya.

Hal itulah sebenarnya merupakan gambaran konkret dari konsep pariwisata budaya yang istilahnya sering disebut-sebut oleh para pengambil kebijakan (pemerintah) dan para akademisi, namun seringkali sulit untuk dijelaskan dalam definisi konseptual yang operasional, terutama dalam menyepakati konsep kebudayaan itu sendiri.

Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.

Dengan demikian, pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang berdasarkan pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara-upacara, dan pengalaman yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang merefleksikan keanekaragaman (diversity) dan identitas (character) dari masyarakat atau bangsa bersangkutan. Garrison Keillor, pada tahun 1995 dalam pidatonya pada White House Conference on Travel & Tourism di Amerika Serikat, telah mendefinisikan pariwisata budaya di Amerika secara baik dengan mengatakan, "We need to think about cultural tourism because really there is no other kind of tourism. It's what tourism is...People don't come to America for our airports, people don't come to America for our hotels, or the recreation facilities....They come for our culture: high culture, low culture, middle culture, right, left, real or imagined -- they come here to see America."

Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang serba multi, baik itu multi-insuler, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama. Kesemuanya itu bila dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.

Sayangnya, dalam wacana pariwisata budaya di tingkat nasional, yang seringkali dijadikan rujukan dan contoh adalah pariwisata di Bali. Seolah-olah hanya daerah Bali yang hanya bisa dimajukan pariwisata budayanya untuk menarik kunjungan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tidak salah memang bila kita membanggakan keberhasilan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa terhadap negara dalam jumlah besar. Namun bila kita terjebak hanya mengandalkan satu daerah Bali saja, maka kemajuan pariwisata Indonesia akan mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tersebut. Hal ini terbukti, ketika di Bali terjadi tragedi bom yang diledakkan oleh kaum teroris, maka penerimaan devisa negara kita di bidang pariwisata menjadi anjlok.

Kemajuan pariwisata budaya di Bali sangat ironis dengan kondisi pariwisata budaya di daerah-daerah Indonesia lainnya. Di Subang, Jawa Barat misalnya, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari jaipong, sisingaan, dan menjadi dalang wayang golek. Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Pariwisata Budaya
Ada banyak cara sebenarnya untuk memajukan pariwisata negara kita. Memang untuk memajukan pariwisata budaya bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat kita. Namun tentunya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Pariwisata di seluruh daerah di Indonesia, sebagai instansi pemerintah yang bertugas memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia, memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Pertama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sesuai dengan fungsinya yang hanya sebagai perumus kebijakan, harus berani dan tegas menentukan konsep, visi, dan misi pariwisata budaya Indonesia. Keberanian untuk menyepakati konsep pariwisata dan budaya juga harus dilakukan karena dalam dunia akademik tidak akan pernah disepakati kedua konsep tersebut yang disebabkan oleh selalu adanya dialektika antara temuan dan pemikiran cendekiawan satu dengan yang lainnya.

Kedua, sesuai dengan semangat otonomi daerah yang menyerahkan tugas pengembangan kebudayaan dan pariwisata kepada Dinas Pariwisata di masing-masing daerah, maka Dinas Pariwisata harus benar-benar menangkap pelimpahan tugas dan wewenang itu sebagai peluang untuk memajukan masyarakat di daerahnya. Sebagai contoh, dengan kekayaan budaya yang kita miliki, maka di setiap kabupaten atau kota Dinas Pariwisata minimal dapat mendirikan satu pusat atau sentra pariwisata budaya yang menampilkan keanekaragaman budaya di wilayahnya masing-masing. Bentuk konkretnya adalah didirikannya semacam Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di masing-masing daerah bersangkutan.

Ketiga, para pengamat pariwisata dan budaya sudah saatnya untuk lebih mengutamakan kajian dan penelitian yang merekomendasikan bagaimana memajukan kebudayaan dan pariwisata Indonesia dibandingkan dengan kajian dan penelitian yang selalu memberikan kritik yang belum tentu konstruktif terhadap kebijakan pembangunan pariwisata dan budaya, yang seringkali justru menyebabkan ketakutan pada instansi pemerintah untuk mengambil kebijakan.

Keempat, peran serta masyarakat dalam pembangunan sentra-sentra budaya di masing-masing daerah harus diutamakan. Misalnya, kelompok-kelompok kebudayaan dan kesenian yang akan dipentaskan harus bergiliran dan tidak dimonopoli oleh kelompok kesenian tertentu saja. Di samping itu, anggota masyarakat sekitar juga harus diutamakan untuk direkrut mengelola sentra budaya bersangkutan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.

Bila pembangunan pariwisata budaya ini dapat segera dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan di seluruh daerah di Indonesia, maka kelestarian budaya, inovasi dan kreativitas budaya, kerukunan antarbudaya, lapangan pekerjaan, pemasukan terhadap pendapatan daerah dan devisa negara adalah sumbangan penting yang dapat diberikan oleh bidang pariwisata budaya untuk peradaban Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.***

Penulis adalah Pengamat Budaya dan Pariwisata, bekerja di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Republik Indonesia

Sumber: Sinar Harapan

CERPEN : Menunggu Pelangi

| | 0 komentar
“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi. Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan. Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini. Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda. “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan. “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini. Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati. Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia?? Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika. Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama. Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh. Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku. Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit. Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar - benar dipenuhi haru hari ini, Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini. “Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA” Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana? Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama. “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih. “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.” Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini. Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!” Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku! Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi. Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit? Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya?? “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”. Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang. Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?” Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo” Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.

Cerpen, Sepotong kue untuk Sahabat.

| | 0 komentar
Akhh… aku benci namanya sahabat,
Hidupku memang tak ada apa-apanya, aku memang dikenal kurang pandai bersosialisasi bukan karena aku sombong dan kurang suka bergaul, tapi aku sulit mencari orang yang pas dengan hatiku. Aku pernah trauma atas namanya persahabatan. Dulu aku pernah dikhianati oleh namanya sahabat cuma karena seorang pria. Sejak kejadian itu aku lebih menghabiskan waktu ku dengan novel-novel. Memang aku rasakan hampa hidupku tak ada canda tawa, pergi bersama ke Mall seperti orang lain yang biasa menghabiskan waktu bersama sahabatnya tapi inilah aku sekarang tak mau kenal namanya persahabatan.
Aku memang mempunyai teman di kampus tapi kami dekat hanya sebatas berlangsung mata kuliah dan berdiskusi saja, tapi saat mata kuliah selesai kami berpisah ke alam masing-masing, ia kumpul bersama sahabat-sahabatnya dan aku kembali kepada dunia sepiku. Aku berusaha tetap bahagia, karena aku suka berfikiran tanpa sahabat hidupku nyaman karena tak ada namanya perselisihan, duit abis karena jalan-jalan atau membuat kejailan. Meskipun presepsi aku itu suka ditentang oleh ibuku yang suka koment atas pikiranku itu.
Saat pulang kuliah biasanya aku menghabiskan waktu di toko buku tapi saat itu ada kejadian aneh, aku di ikuti seorang gadis kecil yang berpenampilan kumel dan tak menggunakan alas kaki. Aku berusaha tak menghiraukannya, saat aku masuk ke dalam toko buku, anak itu menatapku di balik jendela besar toko buku yang menghadap ke jalan. Tiba-tiba saat aku sedang membaca buku Love story karya Erich Segal, gadis itu sedang dibentak oleh satpam toko buku, sungguh baru itu kurasakan tak tega melihat gadis kecil itu.
Aku pun pulang membawa buku-buku yang aku beli, saat aku menuju ke tempat makan karena titipan mama yang harus aku beli, aku bertemu gadis kecil itu lagi, saat ini aku dekati dia karena heran kenapa ia mengikuti aku terus.
“kenapa kamu ikuti aku? Tanya ku dengan nada setengah menyelidiki dan menatap semua pakaian kumel yang melekat pada tubuhnya.
“e..e.. maaf mbak, aku tak ada maksud apa-apa tapi aku suka dengan mbak, ucapnya setengah menunduk dan melirik wajah ku dengan muka takut
“aneh kamu itu, aku baru kali ini lihat kamu, bilang saja kamu minta sumbangan dari aku, kamu mau berapa tapi jangan ikuti aku lagi. Bentak ku terhadap dia,
“maaf mbak, ibu ku tak mengajalkan aku minta-minta dalam keadaan lapal gimanapun, aku seling melihat mbak saat mbak ke toko buku wajah mba milip dengan seseolang”. Ucapnya dengan cedal dan menahan air mata.
Tiba-tiba hatiku terenyuh dan merasa bersalah sudah bentak gadis ini, aku pun agak mengubah cara bicaraku menjadi sedikit lembut.
Mirip siapa? Kamu salah orang kali. Aku mau beli makanan dan terburu-buru. Jawabku sambil bergegas ingin meninggalkan gadis kecil itu tanpa menghiraukan ekspresi gadis itu.
Aku pun bergegas masuk dalam sebuah rumah makan, saat aku menengok ke arah kiri ku tatap wajah gadis itu dari kejauhan yang memandangiku, iba itu yang kurasa tapi aku tak mau ditipu pikirku. Saat aku pulang, gadis itu berlari mengejarku, “mbak, bolehkah aku kenal mbak? Aku cuman mau kenal dan belsahabat dengan mba. Ucap gadis itu dengan mimik yang polos dan buat iba.
Aku terburu-buru aku tak mau kenal dengan namanya persahabtan. Kamu salah orang adik kecil, ucapku sedikit lembut “aku ingin belsahabat mba, bukan uang. Mba mau kan kenal dan ketemu aku lagi? Ucap gadis kecil itu dengan nada berharap
“ia ntar kalo ketemu, kita berbicara lagi tapi kini mba sedang terburu-buru. Jawabku sekenaanya agar terlepas dari anak kecil ini
Mba hati-hati ya, ucapnya sambil melambaikan tangan. Sungguh gadis kecil lugu itu menyedihkan sekali. Selalu saja ku terpikiran oleh gadis itu, 5 hari kemudian aku kembali lagi ke toko buku itu. Saat pulang sudah ku duga pasti gadis kecil itu menungguku, saat aku ingin mendekatinya tiba-tiba satpam toko buku itu mendekatiku dan bilang bahwa gadis itu aneh.
Gadis itu mendekatiku, mbak akhilnya datang juga aku tunggu mbak. Aku ingin mengajak mbak ke suatu tempat lahasia. Tempat untuk kita beldua sebagai sahabat.
Aku pun berusaha ikuti jalan pikiran anak ini, dan ku selalu menganggap permintaan sahabat dari dia hanya sekedar alasannya untuk meminta uangku. Aku pun ikuti langkah kecilnya yang tanpa alas menapaki tiap rute-rute yang ditempuh untuk ke tempat rahasia menurut dia. Sampailah kami disebuah rumah kardus, ternyata gadis ini hidup sendiri, sungguh terkejut aku gadis baru umur 5 atau 6 tahun sudah biasa hidup seperti ini.
Mbak maaf aku sudah mengajak mbak ke tempat kumuh ini, tapi ini istanaku. Ucapnya dengan rona bahagia di wajahnya. Sungguh aku tak bisa pungkiri rasa iba ku terhadap gadis kecil yang membuat ku bingung.
Mba kenapa sih gak mao belsahabat? Aku malah kepengen punya sahabat. Pertanyaan nya yang membuatku tersegap rasa kaget dan flashback akan kenangan bersama sahabat yang tlah mengkhianatiku. Mba benci dengan namanya persahabatan, mana orang tua mu? Apa kamu tinggal sendiri? Jawabku sekenaanya dan menimpali pertnyaan agar ia tak membahas persahabatan. Gadis kecil yang kutatap ini mulai mengeluarkan butir-butir air mata, ia mengatakan hidupnya hanya sebatang kara. Ia tak mengenal ayahnya dan ibunya telah meninggal karena suatu hal. Betapa terkejut aku mendengar cerita nya.
Aku dan gadis kecil itu sering bertemu akhirnya, tapi aku tetap tak menganggap nya sahabat meskipun dia menganggap seperti itu, aku kenal semua aktifitasnya. Ia bekerja sebagai pengamen jalanan dengan bermodalkan tutup minuman coca cola.
Suatu hari ia bercerita tentang kehidupannya dulu dan tanggal lahirnya. Sungguh ceritanya mengingatkan ku terhadap seorang yang telah mengkhianatiku dulu. Tanggal lahirnya sama dengan mantan sahabatku dulu tanggal 23 desember, dulu biasanya kami selalu merayakan tapi itu benar-benar dulu sebelum ia mengkhianati ku dengan lelaki yang ku cintai. Nama gadis itu sama dengan sahabatku dulu. Sungguh aku tak habis pikir apa mungkin di dunia ini mempunyai kesamaan yang hampir sama seperti itu? Tanggal 23 desember bentar lagi dan mulai itu aku berusaha memberikan perhatian terhadap gadis kecil itu. Aku berusaha akan memberikan hadiah.
Saat kau ulang tahun apa yang kau inginkan? Tanyaku. Aku hanya ingin ke tempat ibuku mbak, aku benar-benar kangen dengan nya. Dan aku juga ingin sepotong kue kecil yang disuapkan oleh sahabat ibuku sebagai permintaan ibu dulu mbak. Sungguh ucapan itu membuat hatiku bergedik menahan butir-butir air mata agar tak tertumpah. Aku bingung harus membantunya mencari sahabat ibunya sebagai kado ulang tahunnya.
Tanggal 22 aku mulai membuat kue ulang tahun untuk sahabat kecilku, sungguh baru itu hatiku terbuka berfikir ternyata mempunyai sahabat dan bersosialisasi sesama itu indah. Aku pun membuat kue itu dengan rasa senang sebagai sahabat serta seperti rasa kakak dan adik.
Tanggal 23 itu hari yang ku tunggu, hari yang mempunyai moment juga untuk ku bersama sahabatku dulu. Saat aku menapaki jalan ke istana sahabat kecilku tiba-tiba ku lihat rumah itu sudah dipenuhi orang, sahabat kecilku sudah terbujur kaku. Derai air mata ku tumpah, aku tak tau harus bagaimana. Kue yang ku persiapkan dengan rasa terima kasih karena ia telah mengubah presepsi buruk ku tentang sahabat menjadi pupus semua kini.
Sahabat kecilku telah pergi selamanya, ia sakit. Ternyata selama ini ia mempunyai penyakit. Sungguh aku tak mengira itu.
Tiba-tiba ada seorang ibu memberikan aku sebuah surat. Setelah pulang dari pemakaman, aku pun langsung membuka amplop itu sungguh betapa terkejut aku, isinya photo aku bersama sahabat ku dulu yang telah mengkhianati ku.
“mbak, aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku atas penerimaan mbak menjadi sahabatku. Ku lakukan itu demi ibuku, sebelum ibu kembali ke rumah Allah ia memberikan photo mbak bersama ibu dan ibu bercerita semua tentang mbak dan tempat biasa mbak kunjungi maka itu aku dekati mbak di toko buku langganan mba, ayah ku adalah cowok yang menyebabkan persahabatan ibu dan mbak hancur kini ia pergi bersama orang lain dan ibu diusir kakek dan nenek ku saat mengandungku, itu yang ibu ceritakan dan ibu sampaikan semua, agar aku meminta maaf atas nama ibu, ibu sangat menyayangi mba dan membanggakan mba. Terakhir sebelum ibu pulang ke rumah Allah, ibu ingin sepotong kue dari sahabatnya. Kini rasa kangenku terhadap ibupun sebentar lagi terbayar mbak, doakan aku dan ibu bahagia. Ku percaya mba akan membawa sepotong kue itu untuk kami saat tanggal 23 desember. Itu isi surat terakhir si gadis kecil dengan tulisan yang masih acak-acakan seperti anak SD tapi aku terharu dan akan menyimpan surat ini selamanya.
Sungguh aku tak menguasai emosiku, tangisanku pecah dan aku menyesal sudah seperti itu terhadap Nisa dan anaknya si gadis kecil sahabatku. Aku pun membuka hatiku untuk bersahabat karena aku percaya sekarang bahwasan nya sahabat itu tak ada yang jahat. Setiap tanggal 23 selalu ku rayakan ultah sahabat tercintaku dan anaknya si gadis kecil, meskipun kini aku tak dapat memberikan mereka sepotong kue yang inginku suapkan tapi ku akan memberikan sebuah doa kepada mereka agar tenang.
Semua hal yang terjadi ini membuat dewasa dan akupun mengubah presepsi tentang sahabat. Aku sangat menyayangi mereka.